Obat Tamiflu Tak Cocok Buat Orang Dewasa Sehat

0 comments
Obat flu Tamiflu dan Relenza mungkin tak cocok untuk mengobati influenza musiman pada orang dewasa yang sehat, kata beberapa peneliti Inggris.

"Merekomendasikan penggunaan obat anti-virus bagi perawatan orang yang memiliki beberapa gejala tampaknya bukan jalur tindakan yang paling cocok," tulis Jane Burch dari University of York, dan rekannya.

Studi mereka, yang disiarkan di dalam "Lancet Infectious Diseases", mendukung saran dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) --yang menyatakan pasien sehat yang terserang flu babi H1N1 tanpa menderita komplikasi tak memerlukan pengobatan anti-virus.

Tamiflu, yang dibuat oleh perusahaan Swiss, Roche, berdasarkan lisensi dari Gilead Sciences Inc., adalah pil yang dapat mengobati dan mencegah segala jenis virus influenza A.

Zanamivir, yang dibuat oleh GlaxoSmithKline, berdasarkan lisensi dari perusahaan Australia, Biota, dan dijual dengan merek Relenza, adalah obat hirup di klas yang sama.

WHO sangat menyarankan penggunaan kedua obat itu buat perempuan hamil, pasien dengan kondisi medis yang mendasari dan anak-anak yang berusia di bawah 5 tahun, karena mereka menghadapi resiko yang meningkat terhadap penyakit yang lebih parah.

Tim Burch mengkaji beragam studi yang diterbitkan mengenai Tamiflu dan Relenza. "Kami menyajikan hasilnya buat orang dewasa yang sehat dan orang yang menghadapi resiko komplikasi yang berkaitan dengan influenza," tulis mereka.

Mereka mendapati kedua obat tersebut, rata-rata, memangkas setengah hari hari saat pasien sakit. Influenza biasanya mempengaruhi orang selama sekitar satu pekan.

Obat itu memberi hasil sedikit lebih baik pada orang yang memiliki resiko komplikasi, seperti pasien yang menderita diabetes atau asme, sementara Relenza mengurangi rasa sakit hampir satu hari dan Tamiflu sebanyak tiga-perempat per hari.

Itu menunjukkan obat tersebut mesti diberikan kepada orang yang paling memerlukannya, kata para peneliti tersebut.

Banyak negara telah menimbun kedua obat itu. Flu babi H1N1 telah dinyatakan sebagai wabah dan menyebar ke seluruh dunia. Para pejabat kesehatan AS, Jumat, mengatakan penyakit tersebut masih bertambah parah di Jepang, kondisi membaik di Inggris dan masih aktif di Amerika Serikat.

Flu jarang menyerang di semua ketiga negara itu pada Agustus.

Pabrik global menduga tak dapat menyediakan vaksin tersebut sampai akhir September atau Oktober.(*)

Disadur dari antaranews

Menyikapi Kontroversi Autisme dan Imunisasi MMR

0 comments
Dalam waktu terakhir ini kasus penderita autisme tampaknya semakin meningkat pesat. Autisme tampak menjadi seperti epidemi ke berbagai belahan dunia. Dilaporkan terdapat kenaikan angka kejadian penderita Autisme yang cukup tajam di beberapa negara. Keadaan tersebut di atas cukup mencemaskan mengingat sampai saat ini penyebab autisme multifaktorial, masih misterius dan sering menjadi bahan perdebatan diantara para klinisi.

Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Perdebatan yang terjadi akhir-akhir ini berkisar pada kemungkinan hubungan autisme dengan imunisasi MMR (Mumps, Measles, Rubella). Banyak orang tua menolak imunisasi karena mendapatkan informasi bahwa imunisasi MMR dapat mengakibatkan autisme. Akibatnya anak tidak mendapatkan perlindungan imunisasi untuk menghindari penyakit-penyakit justru yang lebih berbahaya seperti hepatitis B, Difteri, Tetanus, pertusis, TBC dan sebagainya. Banyak penelitian yang dilakukan secara luas ternyata membuktikan bahwa autism tidak berkaitan dengan imunisasi MMR. Tetapi memang terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa Autism dan imunisasi MMR berhubungan.

Imunisasi MMR adalah imunisasi kombinasi untuk mencegah penyakit Campak, Campak Jerman dan Penyakit Gondong. Pemberian vaksin MMR biasanya diberikan pada usia anak 16 bulan. Vaksin ini adalah gabungan vaksin hidup yang dilemahkan. Semula vaksin ini ditemukan secara terpisah, tetapi dalam beberapa tahun kemudian digabung menjadi vaksin kombinasi. Kombinasi tersebut terdiri dari virus hidup Campak galur Edmonton atau Schwarz yang telah dilemahkan, Componen Antigen Rubella dari virus hidup Wistar RA 27/3 yang dilemahkan dan Antigen gondongen dari virus hidup galur Jerry Lynn atau Urabe AM-9.

Pendapat yang mendukung autism berkaitan dengan imunisasi :
Terdapat beberapa penelitian dan beberapa kesaksian yang mengungkapkan Autisme mungkin berhubungan dengan imunisasi MMR. Reaksi imunisasi MMR secara umum ringan, pernah dilaporkan kasus meningoensfalitis pada minggu 3-4 setelah imunisasi di Inggris dan beberapa tempat lainnya. Reaksi klinis yang pernah dilaporkan meliputi kekakuan leher, iritabilitas hebat, kejang, gangguan kesadaran, serangan ketakutan yang tidak beralasan dan tidak dapat dijelaskan, defisit motorik/sensorik, gangguan penglihatan, defisit visual atau bicara yang serupa dengan gejala pada anak autism.

Andrew Wakefielddari Inggris melakukan penelitian terhadap 12 anak, ternyata terdapat gangguan Inflamantory Bowel disesase pada anak autism. Hal ini berkaitan dengan setelah diberikan imunisasi MMR. Bernard Rimland dari Amerika juga mengadakan penelitian mengenai hubungan antara vaksinasi terutama MMR (measles, mumps rubella ) dan autisme. Wakefield dan Montgomery melaporkan adanya virus morbili (campak) dengan autism pada 70 anak dari 90 anak autism dibandingkan dengan 5 anak dari 70 anak yang tidak autism. Hal ini hanya menunjukkan hubungan, belum membuktikan adanya sebab akibat.

Jeane Smith seorang warga negara Amerika bersaksi didepan kongres Amerika : kelainan autis dinegeri ini sudah menjadi epidemi, dia dan banyak orang tua anak penderta autisme percaya bahwa anak mereka yang terkena autisme disebabkan oleh reaksi dari vaksinasi. Sedangkan beberapa orang tua penderita autisme di Indonesiapun berkesaksian bahwa anaknya terkena autisme setelah diberi imunisasi

Pendapat yang menentang bahwa imunisasi menyebabkan autisme :
Sedangkan penelitian yang mengungkapkan bahwa MMR tidak mengakibatkan Autisme lebih banyak lagi dan lebih sistematis. Brent Taylor, melakukan penelitian epidemiologik dengan menilai 498 anak dengan Autisme. Didapatkan kesimpulan terjadi kenaikkan tajam penderita autism pada tahun 1979, namun tidak ada peningkatan kasus autism pada tahun 1988 saat MMR mulai digunakan. Didapatkan kesimpulan bahwa kelompok anak yang tidak mendapatkan MMR juga terdapat kenaikkan kasus aurtism yang sama dengan kelompok yang di imunisasi MMR.

Dales dkk seperti yang dikutip dari JAMA (Journal of the American Medical Association) 2001, mengamati anak yang lahir sejak tahun 1980 hingga 1994 di California, sejak tahun 1979 diberikan imunisasi MMR. Menyimpulkan bahwa kenaikkan angka kasus Autism di California, tidak berkaitan dengan mulainya pemberian MMR.

Intitute of medicine, suatu badan yang mengkaji keamanan vaksin telah melakukan kajian yang mendalam antara hubungan Autisme dan MMR. Badan itu melaporkan bahwa secara epidemiologis tidak terdapat hubungan antara MMR dan ASD. The British Journal of General Practice mepublikasikan penelitian De Wilde, pada bulan maret 2001. Meneliti anak dalam 6 bulan setelah imunisasi MMR dibandingkan dengan anak tanpa Autisme. Menyimpulkan tidak terdapat perubahan perilaku anak secara bermakna antara kelompok control dan kasus. Pada jurnal ilmiah Archives of Disease in Childhood, September 2001, The Royal College of Paediatrics and Child Health, menegaskan bahwa tidak ada bukti ilmiah yang mendukung adanya hipoteda kaitan imunisasi MMR dan Autisme. Para profesional di bidang kesehatan tidak usah ragu dalam merekomendasikan imunisasi MMR pada pasiennya..

Makela A, Nuorti JP, Peltola H tim peneliti dari Central Hospital Helsinki dan universitas Helsinky Finlandia pada bulan Juli 2002 telah melakukan penelitian terhadap 535.544 anak yang mendapatkan imunisasi MMR sejak 1982 hingga 1986, yang dilakukan pengamatan 3 bulan setelah di Imunisasi. Mereka menyimpulkan bahwa tidak menunjukkan hubungan yang bermakana antara imunisasi MMR dengan penyakit neurologis (persrafan) seperti ensefalitis, aseptik meningitis atau autisme. Kreesten Meldgaard Madsen dkk bulan November 2002, melakukan penelitian sejak tahun 1991 - 1998 terhadap 440.655 anak yang mendapatkan imunisasi MMR. Hasilnya menunjukkan tidak terbukti hipotesis hubungan MMR dan Autisme.

Rekomendasi Intitusi atau Badan Kesehatan Dunia
Beberapa institusi atau badan dunia di bidang kesehatan yang independen dan sudah diakui kredibilitasnya juga melakukan kajian ilmiah dan penelitian tentang tidak adanya hubungan imunisasi dan autisme. Dari hasil kajian tersebut, dikeluarkan rekomendasi untuk tenaga profesional untuk tetap menggunakan imunisasi MMR dan thimerosal karena tidak terbukti mengakibatkan Autisme.

The All Party Parliamentary Group on Primary Care and Public Health pada bulan Agustus 2000, menegaskan bahwa MMR aman. Dengan memperhatikan hubungan yang tidak terbukti antara beberapa kondisi seperti inflammatory bowel disease (gangguan pencernaan) dan autisme adalah tidak berdasar.

WHO (World Health Organisation), pada bulan Januari 2001 menyatakan mendukung sepenuhnya penggunaan imunisasi MMR dengan didasarkan kajian tentang keamanan dan efikasinya.

Beberapa institusi dan organisasi kesehatan bergengsi di Inggris termasuk the British Medical Association, Royal College of General Practitioners, Royal College of Nursing, Faculty of Public Health Medicine, United Kingdom Public Health Association, Royal College of Midwives, Community Practitioners and Health Visitors Association, Unison, Sense, Royal Pharmaceutical Society, Public Health Laboratory Service and Medicines Control Agency pada bulan januari tahun 2001 setelah mengadakan pertemuan dengan pemerintahan Inggris mengeluarkan pernyataan bersama yaitu MMR adalah vaksin yang sangat efektif dengan laporan keamanan yang sangat baik. Secara ilmiah sangat aman dan sanagat efektif untuk melindungi anak dari penyakit. Sangat merekomendasikan untuk memberikan MMR terhadap anak dan tanpa menimbulkan resiko.

The Committee on Safety of Medicine (Komite Keamanan Obat) pada bulan Maret 2001, menyatakan bahwa kesimpulan dr Wakefield tentang vaksin MMR terlalu premature. Tidak terdapat sesuatu yang mengkawatirkan. The Scottish Parliament�s Health and Community Care Committee, juga menyatakan pendapat tentang kontroversi yang terjadi, yaitu Berdasarkan pengalaman klinis berbasis bukti, tidak terdapat hubungan secara ilimiah antara MMR dan Autisme atau Crohn disease. Komite tesebut tidak merekomendasikan perubahan program imunisasi yang telah ditetapkan sebelumnya bahwa MMR tetap harus diberikan.

The Irish Parliament�s Joint Committee on Health and Children pada bulan September 2001, melakukan review terhadap beberapa penelitian termasuk presentasi Dr Wakefield yang mengungkapkan AUTISM berhungan dengan MMR. Menyimpulkan tidak ada hubungan antara MMR dan Autisme. Tidak terdapat pengalaman klinis lainnya yang mebuktikan bahan lain di dalam MMR yang lebih aman dibandingkan kombinasi imunisasi. MMR.

The American Academy of Pediatrics (AAP), organisasi profesi dokter anak di Amerika Serikat pada tanggal 12 � 13 Juni 2000 mengadakan konferensi dengan topik "New Challenges in Childhood Immunizations" di Oak Brook, Illinois Amerika Serikat yang dihadiri para orang tua penderita autisme, pakar imunisasi kesehatan anak dan para peneliti. Pertemuan tersebut merekomendasikan bahwa tidak terdapat huibungan antara MMR dan Autisme. Menyatakan bahwa pemberian imunisasi secara terpisah tidak lebih baik dibandingkan MMR, malahan terjadi keterlambatan imunisasi MMR. Selanjutnya akan dilakukan penelitian l;ebih jauh tentang penyebab Autisme.

BAGAIMANA SIKAP KITA SEBAIKNYA ?
Bila mendengar dan mengetahui kontroversi tersebut, maka masyarakat awam bahkan beberapa klinisipun jadi bingung. Untuk menyikapinya kita harus cermat dan teliti dan berpikiran lebih jernih. Kalau mengamati beberapa penelitian yang mendukung adanya autisme berhubungan dengan imunisasi, mungkin benar sebagai pemicu. Secara umum penderita autisme sudah mempunyai kelainan genetik (bawaan) dan biologis sejak awal. Hal ini dibuktikan bahwa genetik tertentu sudah hampir dapat diidentifikasi dan penelitian terdapat kelainan otak sebelum dilakukan imunisasi. Kelainan autism ini bisa dipicu oleh bermacam hal seperti imunisasi, alergi makanan, logam berat dan sebagainya. Jadi bukan hanya imunisasi yang dapat memicu timbulnya autisme. Pada sebuah klinik tumbuh kembang anak didapatkan 40 anak dengan autism tetapi semuanya tidak pernah diberikan imunisasi. Hal ini membuktikan bahwa pemicu autisme bukan hanya imunisasi.

Penelitian yang menunjukkan hubungan keterkaitan imunisasi dan autism hanya dilihat dalam satu kelompok kecil (populasi) autism. Secara statistik hal ini hanya menunjukkan hubungan, tidak menunjukkan sebab akibat. Kita juga tidak boleh langsung terpengaruh pada laporan satu atau beberapa kasus, misalnya bila orang tua anak autism berpendapat bahwa anaknya timbul gejala autism setelah imunisasi. Kesimpulan tersebut tidak bisa digeneralisasikan terhadap anak sehat secara umum (populasi lebih luas). Kalau itu terjadi bisa saja kita juga terpengaruh oleh beberapa makanan yang harus dihindari oleh penderita autism juga juga akan dihindari oleh anak sehat lainnya. Jadi logika tersebut harus dicermati dan dimengerti.

Bila terpengaruh oleh pendapat yang mendukung keterkaitan autism dan imunisasi tanpa melihat fakta penelitian lainnya yang lebih jelas, maka kita akan mengabaikan imunisasi dengan segala akibatnya yang jauh lebih berbahaya pada anak. Penelitian dalam jumlah besar dan luas secara epidemiologis lebih bisa dipercaya untuk menunjukkan sebab akibat dibandingkan laporan beberapa kasus yang jumlahnya relatif tidak bermakna secara umum. Beberapa institusi atau badan kesehatan dunia yang bergengsi pun telah mengeluarkan rekomendasi untuk tetap meneruskan pemberian imunisasi MMR. Hal ini juga menambah keyakinan kita bahwa memang Imunisasi MMR memang benar aman.

Kontroversi itu terus berlanjut terus, namun kita bisa mengambil hikmah dan jalan yang terbaik anak kita harus imunisasi atau tidak ? Untuk meyakinkan hal tersebut mungkin kita bisa berpedoman pada banyak penelitian yang lebih dipercaya validitasnya secara statistik dengan populasi lebih banyak dan luas yaitu Autisme tidak berhubungan dengan MMRl. Demikian pula kita harus percaya terhadap rekomendasi berbagai badan dunia kesehatan yang independen dan terpercaya setelah dilakukan kajian ilmiah terhadap berbagai penelitian yang dilakukan oleh beberapa pakar kesehatan anak di berbagai dunia maju.

Dari beberapa hal tersebut diatas, tampaknya dapat disimpulkan bahwa Imunisasi MMR tidak mengakibatkan Autisme, bila anak kita sehat dan tidak berbakat autisme. Tetapi diduga imunisasi dapat memicu memperberat timbulnya gangguan perilaku pada anak yang sudah mempunya bakat autisme secara genetik sejak lahir.

Tetapi tampaknya teori, penelitian atau pendapat beberapa kasus yang mendukung keterkaitan autisme dengan imunisasi, tidak boleh diabaikan bergitu saja. Meskipun laporan penelitian yang mendukung hubungan Autisme dan imunisasi hanya dalam populasi kecil atau bahkan laporan perkasus anak autisme. Sangatlah bijaksana untuk lebih waspada bila anak kita sudah mulai tampak ditemukan penyimpangan perkembangan atau perilaku sejak dini, memang sebaiknya untuk mendapatkan imunisasi MMR harus berkonsultasi lebih jelas dahulu dengan dokter anak. Bila anak kita sudah dicurigai ditemukan bakat kelainan Autism sejak dini atau beresiko terjadi autisme, mungkin bisa saja menunda dahulu imunisasi MMR sebelum dipastikan diagnosis Autisme dapat disingkirkan. Meskipun sebenarnya pemicu atau faktor yang memperberat Autisme bukan hanya imunisasi. Dalam hal seperti ini kita harus memahami dengan baik resiko, tanda dan gejala autisme sejak dini.

Tetapi bila anak kita sehat, tidak beresiko atau tidak menunjukkan tanda dini gejala Autisme maka kita tidak perlu kawatir untuk mendapatkan imunisasi tersebut. Kekawatiran terhadap imunisasi tanpa didasari pemahaman yang baik dan pemikiran yang jernih akan menimbulkan permasalahan kesehatan yang baru pada anak kita. Dengan menghindari imunisasi maka akan timbul permasalahan baru yang lebih berbahaya dan dapat mengancam jiwa terutama bila anak terkena infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi.

Artikel ini ditulis oleh dr. Widodo Judarwanto, Rumah Sakit Bunda Jakarta.

Alergi Terhadap Penisillin

0 comments
Penisillin bersama sama dengan antibiotik lain mempunyai khasiat untuk mengurangi timbulnya berbagai penyakit menular seperti radang paru-paru, TBC, diphteri, dan lain sebagainya.

Walaupun penisillin aman bagi sebagian besar orang, namun bagi sebagian orang lain penisillin dapat menimbulkan efek alergi. Yang paling serius yaitu anaphylaxis, suatu alergi yang sangat keras yang dapat menyebabkan kulit menjadi ruam/memerah, gatal, kesukaran bernafas, sampai ketidaksadaran.

Untuk mengenali hal tersebut, coba ingat-ingat kembali suatu saat yang lalu. Pernahkah anda minum antibiotik (penisillin), dan apakah gejala gatal gatal badan menjadi merah terjadi pada anda. Jika iya, bisa jadi anda alergi pada penisillin. Sebaiknya anda mengkonsultasikan pada dokter anda mengenai hal ini dan jangan lupa sampaikan juga kepada keluarga terdekat anda. Dengan demikian, pada saat anda sakit, dan terpaksa berobat disuatu tempat baru (blm ada riwayat medis anda) dan saat itu pula anda tidak dapat memberikan keterangan atau info pada dokter (karena kondisi anda sangat lemah misalkan), orang terdekat anda akan dapat memberitahukan bahwa anda alergi terhadap penisillin.

CINTA untuk menghindari obat palsu

1 comments
Sering kita mendengar adanya peredaran obat palsu. Obat palsu dapat berupa obat dengan kadungan yang tidak sesuai kadarnya, tidak sesuai jenis zat aktifnya, obat kadaluarsa yang dijual kembali dengan merubah penandaannya, obat yang tidak memiliki ijin edar, dsb.

Alih-alih mendapatkan kesembuhan, penggunan obat palsu selain tidak menyembuhkan bisa jadi justru mendatangkan penyakit baru pada badan kita.


Sangat sulit memang untuk membedakan obat palsu dan yang asli hanya dari tampilan fisiknya. Bentuk, warna dan kemasan obat palsu sangat mirip dengan obat asli. Obat palsu hanya dapat dideteksi melalui uji laboratorium.

Oleh karena itu, untuk menghindari membeli dan mengkonsumsi obat palsu serta mencegah peredaran obat palsu ikuti tips C.I.N.T.A berikut

"C" cermati kemasan dan obatnya
Periksalah penandaan obat apakah mencantumkan
- dot hijau, biru atau merah

- Nama obat
- Nama produsen
- Tanggal kadaluarsa
- Harus ada Nomor Ijin Edar (NIE) dari Badan POM

Arti dari tanda dot pada kemasan obat adalah sebagai berikut:


Green Dot:
Over The Counter’ artinya dijual bebas.
Obat-obatan dapat dijual di toko obat tanpa resep dokter dan tanpa pengawasan apoteker. Pemasaran atau promosi di media diperbolehkan.

Blue Dot:
Obat-obatan dalam kategori ini hanya dapat dijual di apotek. Namun tanpa resep dokter.



Red Dot :
Obat-obatan dalam kategori ini harus dibeli dengan resep dokter dan harus dibawah pengawasan apoteker. Produk dengan Red Dot tidak boleh dipromosikan melalui media.


"I"
Ingat untuk merusak kemasan lama
Dengan anda merusak obat laam yang sudah tidak digunakan atau melewati batas ED, anda telah membantu penyalahgunaan obat serta peredaran obat palsu.

"N" N
iat hidup lebih sehat
Dengan kita hidup sehat, maka kita tidak perlu mengkonsumsi obat. Olekarenanya kita dapat terhindar dari penggunaan obat palsu.

"T" Tempat membeli obat di apotek
Apotek adalah tempat legal untuk menjual obat. Penjualan obat diapotek diatur dan diawasi. Anda juga dapat berkonsultasi dengan apoteker untuk mendapatkan kejelasan dan kebenaran obat yang akan anda konsumsi.

"A" Ajak semua untuk saling mengingatkan
Dengan saling mengingatkan, maka akan semakin besar kepedulian masyarakat untu mencegah dan menghindari peredaran obat palsu.

Dikembangkan oleh infarmasi dari artikel di www.stopobatpalsu.com

Apa arti “c” di depan kata GMP (cGMP)

1 comments
Mungkin tidak hanya anda yang tertarik dengan pertanyaan diatas. Apa sih makna huruf “c” di depan singkatan GMP (Good Manufacturing Practice).

“c” pada kata cGMP merupakan singkatan dari kata current atau dapat diartikan terkini.

Good Manufacturing Practice atau di negara kita lebih dikenal dengan CPOB (Cara pembuatan obat yang baik) tidaklah tetap sepanjang tahun. Peraturan-peraturan didalamnya serta petunjuk-petunjuk prakatis penerapannya terus disempurnakan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen pengguna obat. Prosedur-prosedur terkini, metode-metode terbaru terus dikembangkan untuk memberikan jaminan kualitas yang terus meningkat. Olehkarenanya industri farasi hendaklah terus menyimak dan menilai kembali apakah penerapan CPOB/GMP diwilayah industrinya masih sesuai dengan peraturan terbaru.

Arti penting validasi dalam dunia farmasi

1 comments
Industri farmasi seperti kita ketahui adalah salah satu bidang industri dengan segudang persyaratan yang harus dipenuhi dalam proses produksinya. Industri farmasi dituntut untuk menghasilkan produk yang seragam secara kualitas, aman bagi pasien, manjur, dan efektif.
Untuk mencapai hal-hal tersebut, maka harus didukung oleh serangkaian proses dan sistem yang konsisten. Validasi adalah sistem yang akan mendukung dalam pencapaian tersebut.

Dalam dunia farmasi, validasi didefinisikan sebagai suatu kegiatan pembuktian yang terdokumentasi bahwa suatu prosedur, proses, alat/mesin, serta sistem akan memberikan kesesuaian secara berulang terhadap suatu syarat yang telah ditetapkan.

Selanjutnya, apa arti penting validasi dalam industri farmasi?
1. Jaminan terhadap kualitas
Sebagai ilustrasi, proses pencampuran dengan menggunakan mesin mixing tidak akan mengahsilkan hasil yang seragam antar batch-nya jika mesin yang digunakan bekerja tidak konsisten. Olehkarenanya, mesin sebagai salah satu komponen penting dalam industri farmasi harus dibuktikan terlebih dahulu akan bekerja secara konsisten dan sesuai ketentuan sebelum digunakan.

2. Memenuhi persyaratan regulatory
Validasi telah diatur dalam Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) atau disebut juga Good Manufacturing Practice (GMP). Persyaratan tersebut harus dipenuhi oleh industri farmasi.

3. Pengurangan biaya
Pengalaman telah membuktikan bahwa proses produksi yang telah tervalidasi akan lebih efisien serta menunjukkan kualitas yang terus berulang. Dengan demikian, maka kejadian re-work (pengolahan kembali), reject, serta sisa proses yang tidak terdeteksi akan dapat diminimalkan atau dengan kata lain biaya diluar proses normal dapat ditekan.